Jakarta – //DJALAPAKSINEWS// – (19/09/2025), Sengkarut kepengurusan Ikatan Notaris Indonesia (INI) pasca Kongres XXIV di Banten dan Kongres Luar Biasa (KLB) di Bandung sepertinya masih akan terus berlanjut, dikarenakan gugatan yang diajukan oleh kubu Tri Firdaus Akbarsyah dan Agung Iriantoro ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta saat ini masih dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung, dan untuk gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) yang sedang memasuki banding di Pengadilan Tinggi.
Meskipun melalui media berita yang beredar ada pihak yang mengklaim jika sengkarut tersebut telah usai pasca putusan di PTUN maupun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI) versi Banten melalui tim kuasa hukumnya Doddy Harrybowo, Parisman Sihaloho dan Christian Haryadi pun langsung memberikan bantahan perihal hak tersebut melalui konferensi pers yang diadakan di Sekretariat PP INI Jalan Minangkabau No.1, Jakarta Selatan, pada Rabu kemarin.
“Kami melihat pasca putusan perkara nomor: 169/Pdt.G/2025/PN.Jkt.Sel tanggal 19 Agustus 2025, kami perlu menyampai beberapa hal agar tidak menjadi isu yang liar dan terjadi kesalahpahaman. Kami menghormati putusan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut, dan kami taat kepada hukum. Namun demikian, perlu kami sampaikan bahwa dalam perkara tersebut pengadilan mengeluarkan putusan N.O. (Niet Ontvankelijke Verklaand) dimana dalam putusan itu majelis hakim sama sekali tidak memeriksa materi pokok perkara gugatan,” katanya.
Parisman selanjutnya menjelaskan, kita harus dapat memahami secara detail dan jelas supaya hal ini tidak menjadi pemahaman yang salah dari para anggota INI, baik yang mendukung versi Kongres maupun versi KLB. Terhadap putusan N.O. tersebut, kita juga sedang melakukan upaya hukum banding.
“Putusan N.O tersebut adalah putusan mengenai kompetensi absolut mengenai kewenangan mengadili oleh pengadilan, dimana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan tidak berwenang untuk mengadili perkara 169/Pdt.G/2025/PN.Jkt.Sel tersebur sehingga hasil putusannya adalah N.O.” ujarnya.
Parisman mengatakan yang menjadi pertanyaan apabila putusan N.O. tersebut dianggap sebagai putusan yang mengakhiri suatu perkara, padahal pengadilan sama sekali belum memeriksa pokok perkara, tentu secara normatif dapat kita pahami bahwa terhadap perkara yang bersangkutan belum ada putusan apapun, artinya belum ada pihak yang dimenangkan dan belum ada pihak yang dikalahkan. Putusan ini baru pada tahap penilaian kewenanangan mengadilan oleh pengadilan atas perkara yang diajukan.
“Untuk itu kami menyampaikan dengan tegas kepada pihak-pihak terkait, agar jangan menyampaikan informasi yang salah dan tidak benar kepada masyarakat umum, melalui media apapun, apalagi informasi tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya sehingga membuat sesat pikir dari masyarakat yang membacanya. Jika putusan tersebut merupakan suatu putusan akhir yang menyelesaikan pokok perkawa dan ada pihak yang dimenangkan dalam putusan tersebut, maka putusan tersebut bisa dieksekusi. Jika hanya putusan N.O. maka tidak dapat dieksekusi. Kalau tidak bisa dieksekusi karena pokok perkara belum diperiksa, kemenangan mana yang dimaksudkan di dalam berita yang beredar itu” katanya.
Sementara itu Doddy Harrybowo menyatakan putusan tersebut secara hukum acara belum masuk ke dalam pokok perkara, jadi baru pada tahapan proses jawab menjawab. Dikarenakan ada permohonan eksepsi kompetensi absolut dari pihak tergugat maka keluarlah putusan sela, sehingga proses pemeriksaan mengenai pokok perkara ibelum tersentuh sama sekali.
“Yang digembar-gemborkan oleh pihak lain yakni KLB, mereka merasa sudah menang. Menang dari mana? toh secara hukum pokok perkaranya belum diperiksa,” tuturnya.
Doddy menjelaskan yang perlu saya tekankan di sini bahwa sampai saat ini, belum adanya putusan pengadilan yang incracht terhadap dualisme kepengurusan di INI.
“Karena penggunaan kewenangan dari Menteri Hukum yang tidak sesuai ketentuan hukum yang ada, maka telah menjadikan kami terus berkonflik, mereka gembar-gemborkan bahwa sudah menang padahal faktanya belum. Karena sampai hari ini kita masih melakukan upaya hukum untuk terus memperjuangkan kebenaran sesuai ketentuan hukum yang ada. Kami adalah pengurus yang lahir secara normal melalui Kongres, sementara mereka lahir secara caesar sehingga perlu dipertanyakan keabsahannya. Dan karena ada intervensi politik yang menyebabkan persoalan ini terus berlarut” ucapnya.
Lanjut Doddy, terkait dukungan dari Dirjen AHU yang mengakui kepengurusan INI versi KLB, itu hanya bersifat pencatatan saja secara administratif bukan pengesahan dalam pengertian substantif bahwa segala sesuatu yang dia lakukan itu sah. Kalau ini secara substantif mereka kubu KLB tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan AD/ART INI tentang tata cara pengelenggaraan KLB.
“Jadi dukungan oleh Dirjen AHU, yang mengakui INI versi KLB hanya mencatatkan secara administratif jadi bukan berarti mereka yang benar. Kita tunggu sampai proses hukum ini tuntas hingga adanya keputusan pengadilan yang inkrah.” pungkasnya.
Ingin Menegakkan AD/ART Organisasi
Christian Haryadi yang menjadi tim kuasa PP INI versi Kongres XXIV di Banten pun memberikan pandangannya atas gugatan yang saat ini masih berlanjut usai putusan di pengadilan tingkat pertama.”Kami selaku kuasa hukum dari PP INI versi Kongres di Banten yang kami anggap keterpilihnya bapak Tri Firdaus Akbarsyah dan Agung Iriantoro ini telah melalui prosedur yang secara sah dan demokratis dan terpilih sebagai ketua umum dan sekretaris umum Ikatan Notaris Indonesia,” katanya.
Christian mengungkapkan, dalam hal ini langkah-langkah yang kami lakukan pertama adalah untuk menegakkan kedaulatan organisasi INI, yang kedua adalah kami ingin meluruskan atas terjadinya penyimpangan-penyimpangan dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART). Karena kepengurusan hasil Kongres ini sedang melakukan langkah hukum bukan semata-mata hanya untuk kekuasaan pribadi tetapi untuk meluruskan penyimpangan AD/ART INI yang merupakan hukum tertinggi bagi seluruh anggota Ikatan Notaris Indonesia.
“Harapan kami memang karena untuk menegakkan kedaulatan organisasi bagi seluruh anggota Ikatan Notaris Indonesia yang kurang lebih saat ini ada 20 ribu lebih. Putusan ini sifatnya seumur hidup, kalau putusan ini dibenarkan sampai hilirnya nanti atau dibiarkan kami tidak melakukan langkah hukum apapun usai putusan di tingkat pertama tersebut, maka putusan tersebut dapat menjadi preseden buruk ke depan dan bisa digunakan oleh generasi penerus nanti.” katanya.
Terkait adanya perdamaian, tambah Christian, yang disampaikan oleh kubu sebelah, seolah-olah telah terjadi perdamaian pada tanggal 23 Desember 2024, dapat kami tegaskan bahwa perdamaian tersebut tidak pernah ada sama sekali, “tidak ada perdamaian” tegasnya. Yang terjadi pada tanggal 23 Desember 2024 tersebut hanyalah undangan makan siang yang kemudian dibahas mengenai kepengurusan bersama. PP INI versi Kongres sudah mengajukan proposal kepengurusan bersama, sedangkan pihak KLB tidak pernah mengajukan sama sekali proposalnya.
Jadi perdamaiannya dimana? Kalau dikatakan ada pihak yang tidak patuh pada kesepakatan yang ditandatangani di AHU tersebut maka yang tidak patuh tersebut adalah pihak KLB yang tidak melaksanakan sama sekali apa yang telah disepakati tersebut. Untuk dapat terjadi suatu perdamaian maka perkara yang sedang berproses di pengadilan harus dihentikan oleh para pihak yang bersengketa. Dan yang harus diingat bahwa perdamaian ini suatu kesepakatan yang tidak bisa melegalkan penyimpangan terhadap ketentuan AD/ART.
“Lalu Terkait perkara yang kami ajukan, baik di Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Tata Usaha Negara. Kalau di antara para pihak ini memang sudah terjadi perdamaian, harusnya itu bisa menjadi dasar hakim untuk memutus yang dituangkan ke dalam amar putusan, tapi faktanya kan tidak, karena para pihak memang masih bersengketa sampai sekarang.” ujarnya.
Christian menjelaskan kesimpulannya bahwa apa yang disampaikan oleh pihak sebelah telah ada perdamaian itu tidak pernah ada. Karena yang namanya perdamaian terhadap sesuatu sengkara yang sedang berjalan di pengadilan itu harus ditetapkan oleh majelis hakim dalam suatu akta yang namakan sebagai “Akta van Dading”. Jika tidak ada penetapan pengadilan atas suatu perdamaian maka perkara tersebut belum ada penyelesaiannya.
“Akta tersebut bisa dibuat saat proses sengketa di pengadilan pada tingkat pertama, namun sampai detik tidak pernah terjadi perdamaian seperti yang disebutkan tadi. Apalagi kami saat ini masih menempuh langkah-langkah hukum pasca adanya putusan di pengadilan tingkat pertama,” pungkasnya.//Hari S/Jw//
Semarang - //DJALAPAKSINEWS// – (19/9/2025), Bertempat di Griya Persada Convention Hotel & Resort, digelar kegiatan…
Madiun - //DJALAPAKSINEWS// – (19/09/2025), Memperingati HUT ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI), Korem 081/DSJ menggelar…
Tuban - //DJALAPAKSINEWS// – (19/09/2025), Sektor Administrasi, Pertanahan dan Jaminan Sosial Wajib masih menduduki peringkat…
Jakarta - //DJALAPAKSINEWS// – (19/09/2025), Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Al-Washliyah (PP GPA)…
Sidoarjo - //DJALAPAKSINEWS// – (18/09/2025), Bupati Sidoarjo, H. Subandi, secara resmi melantik dan mengambil sumpah…
Jakarta - //DJALAPAKSINEWS// – (18/09/2025), Rumah produksi Maxima Pictures bekerjasama dengan Rocket Studio Entertainment kembali…