Ironi Negara Kaya Raya, Pajak Naik Rakyat yang Tertikam

Semarang – //DJALAPAKSINEWS// — (23/08/2025), Setiap kali pemerintah berbicara soal kenaikan pajak, narasinya selalu manis: demi pembangunan, demi kesejahteraan, demi negara. Namun di balik slogan itu, kenyataan pahit tak bisa disembunyikan—kenaikan pajak lebih sering terasa seperti pisau yang diarahkan ke rakyat kecil ketimbang solusi cerdas untuk mengatasi masalah fiskal.

Rakyat Bekerja, Negara Memungut

Rakyat sudah berjuang mati-matian mencari penghasilan di tengah harga yang melambung. Lalu negara datang, bukan sebagai pelindung, tapi sebagai pemungut. PPN naik, harga barang melonjak. Pajak penghasilan meningkat, ruang hidup semakin sempit. Di sisi lain, fasilitas publik masih jauh dari layak, layanan kesehatan tersendat, dan pendidikan berkualitas tetap menjadi kemewahan.

Jika benar pajak adalah “alat pemerataan”, mengapa yang diperas selalu kelompok menengah ke bawah, sementara segelintir konglomerat dan politisi bisa tersenyum lega karena punya seribu cara untuk menghindarinya?

Boros di Atas, Peras di Bawah

Sulit menerima alasan “negara butuh dana” ketika laporan korupsi, pemborosan anggaran, hingga belanja mewah pejabat terus tersaji di depan mata. Rakyat dipaksa menanggung beban, sementara negara gagal menunjukkan keteladanan. Apakah adil rakyat harus membayar lebih mahal demi menopang gaya hidup elite yang tak pernah kenyang?

Jalan yang Seharusnya

Kenaikan pajak hanyalah jalan pintas. Yang lebih penting justru:

Menutup kebocoran anggaran dan korupsi.

Menarik pajak dari sektor besar yang selama ini lolos dari kewajiban.

Membangun kepercayaan melalui transparansi dan penggunaan pajak yang benar-benar kembali ke rakyat.

Tanpa itu semua, pajak hanyalah perintah sepihak dari penguasa kepada rakyat—bukan kontrak sosial yang adil.

Kesimpulan

Kenaikan pajak tanpa reformasi ibarat mengisi perut buncit negara dengan memeras keringat rakyat. Selama pemerintah gagal mengelola keuangan dengan jujur dan bijak, wacana pajak naik bukanlah solusi, melainkan bukti bahwa negara lebih pandai menuntut daripada memperbaiki diri.

Penulis: Ali Mahfudi (Pemerhati Kebijakan Publik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Contoh Menu Header Tetap