Respon Beragam GEMAR: Antara Simbol, Peran Ayah, dan Masa Depan Anak

Semarang – //DJALAPAKSINEWS// — (19/12/2025), Beredarnya edaran Gerakan Ayah Mengambil Rapor (GEMAR) yang digagas pemerintah melalui Kementerian BKKBN memantik beragam reaksi di tengah masyarakat. Ada yang menyambutnya sebagai langkah progresif dalam penguatan keluarga, namun tak sedikit pula yang menganggapnya sekadar simbol bahkan lelucon administratif.

Respons beragam ini wajar. Sebab, dalam kultur masyarakat kita, peran ayah kerap dilekatkan pada tanggung jawab utama sebagai pencari nafkah, sementara urusan pendidikan anak—termasuk relasi dengan sekolah—lebih sering dibebankan kepada ibu. Pola ini telah mengakar lama dan dianggap sebagai pembagian peran yang “normal”.

Namun di sinilah letak urgensi GEMAR. Lebih dari Sekadar Mengambil Rapor. Rapor bukan sekadar selembar kertas berisi angka. Ia adalah potret perkembangan anak: prestasi akademik, sikap, kedisiplinan, hingga catatan psikososial. Ketika ayah hadir mengambil rapor, pesan yang ingin disampaikan bukan sekadar soal kehadiran fisik, melainkan kehadiran emosional dan tanggung jawab moral dalam tumbuh kembang anak.

Penelitian psikologi keluarga menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pendidikan anak berdampak signifikan terhadap kepercayaan diri, stabilitas emosi, dan motivasi belajar anak. Anak yang merasa diperhatikan oleh kedua orang tuanya cenderung lebih terbuka, lebih aman secara psikologis, dan lebih siap menghadapi tantangan sosial.

Dalam konteks ini, GEMAR adalah intervensi simbolik untuk menggeser cara pandang lama: bahwa pendidikan anak bukan urusan ibu semata.

Bukan Menggeser Peran, Tapi Menyempurnakan. Kritik yang menyebut GEMAR mengabaikan realitas ayah sebagai pencari nafkah patut didengar. Tidak semua ayah memiliki fleksibilitas waktu; ada yang bekerja harian, buruh, sopir, petani, atau pekerja sektor informal yang sulit meninggalkan pekerjaan.

Namun GEMAR sejatinya tidak dimaksudkan untuk menghapus peran ayah sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, apalagi menghakimi ayah yang tak bisa hadir. Gerakan ini lebih tepat dibaca sebagai ajakan reflektif, bukan kewajiban kaku.

Dalam keluarga yang sehat, peran ayah dan ibu tidak berjalan dalam sekat kaku, melainkan saling mengisi. Ayah bekerja mencari nafkah, ibu mengelola rumah tangga dan pendidikan anak—itu sah. Namun ketika memungkinkan, keterlibatan ayah dalam dunia pendidikan anak adalah bentuk kerja sama yang memperkuat fondasi keluarga, bukan melemahkannya.

Tantangan Implementasi di Lapangan

Yang patut dikritisi bukan ide dasarnya, melainkan cara penyampaian dan implementasinya. Jika GEMAR hanya berhenti sebagai edaran tanpa edukasi kontekstual, ia memang berpotensi menjadi bahan olok-olok. Negara perlu menjelaskan bahwa ini adalah gerakan kesadaran, bukan ukuran kualitas ayah.

Pendekatan yang lebih empatik—misalnya dengan fleksibilitas waktu pengambilan rapor, atau bentuk keterlibatan lain selain hadir fisik—akan membuat pesan GEMAR lebih membumi dan diterima luas.

Penutup: Ayah Hadir, Anak Tumbuh Utuh

Pada akhirnya, GEMAR mengingatkan kita pada satu hal sederhana namun sering terabaikan: anak tidak hanya butuh biaya sekolah, tapi juga perhatian kedua orang tuanya. Kehadiran ayah, sekecil apa pun, bisa menjadi penegas bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama.

Bukan soal siapa yang lebih benar antara ayah atau ibu, melainkan bagaimana keluarga berjalan dalam harmoni. Jika GEMAR dipahami sebagai ajakan untuk lebih hadir—bukan sekadar mengambil rapor—maka gerakan ini layak diapresiasi sebagai investasi jangka panjang bagi generasi masa depan.

Yang patut dikritisi bukan ide dasarnya, melainkan cara penyampaian dan implementasinya. Jika GEMAR hanya berhenti sebagai edaran tanpa edukasi kontekstual, ia memang berpotensi menjadi bahan olok-olok. Negara perlu menjelaskan bahwa ini adalah gerakan kesadaran, bukan ukuran kualitas ayah.

Penulis : Ali MAhfudi, S.E.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Contoh Menu Header Tetap