OPINI  

Fenomena: Urusan Negara yang Diwariskan ke RT, Dari Pengabdian Menjadi Beban Struktural

Semarang – //DJALAPAKSINEWS// — (23/12/2025), Setiap akhir tahun, sebuah persoalan klasik kembali berulang di banyak wilayah Kota Semarang: masa jabatan Ketua RT dan RW berakhir, tetapi regenerasi kepemimpinan mandek. Warga enggan maju, musyawarah berjalan alot, dan tidak jarang jabatan RT atau RW dibiarkan kosong atau diisi kembali oleh orang yang sama, bukan karena keinginan, melainkan karena keterpaksaan.

Fenomena ini bukan terjadi tanpa sebab. Di balik jabatan yang kerap disebut sebagai “pengabdian”, tersimpan beban struktural yang terus bertambah, namun nyaris tanpa perlindungan, kejelasan tugas, dan penghargaan yang layak.

Mitra yang Diposisikan Seperti Bawahan. Secara administratif, RT dan RW adalah mitra pemerintah kelurahan. Artinya, kedudukan mereka bukan bawahan lurah atau kepala desa. Mereka hadir sebagai representasi warga untuk membantu menjaga ketertiban, keamanan sosial, serta keharmonisan lingkungan.

Namun praktik di lapangan berkata lain. RT dan RW kerap diperlakukan sebagai perpanjangan tangan birokrasi, bahkan menjadi pelaksana utama berbagai program pemerintah. Dari pendataan kesehatan, bantuan sosial, hingga laporan-laporan tematik yang seharusnya menjadi tugas dinas teknis, semua “dilimpahkan” ke RT dan RW.

Ironisnya, pelimpahan tugas ini sering tanpa pembekalan yang memadai. Formulir teknis dibagikan, tenggat waktu ditentukan, sementara RT dan RW—yang sebagian besar berlatar belakang non-administratif—dipaksa memahami istilah dan sistem yang bahkan membingungkan bagi orang yang terbiasa bekerja di kantor pemerintahan.

Birokrasi Hemat Anggaran, Beban Dipindah ke Warga. Alih-alih turun langsung ke lapangan, sebagian instansi justru memilih jalur pintas: meminta data dari RT dan RW. Praktik ini mungkin efisien di atas kertas, tetapi menyisakan persoalan serius di lapangan.

RT dan RW tidak hanya mengumpulkan data, tetapi juga harus menghadapi warga yang lelah didata berulang kali, curiga terhadap penggunaan data, hingga marah ketika bantuan tidak turun. Dalam kondisi ini, RT menjadi tameng pertama, sementara pihak yang membuat kebijakan sering kali tidak hadir di tengah konflik sosial yang muncul.

Di sinilah terlihat jelas bahwa RT dan RW kerap dijadikan solusi murah atas keterbatasan birokrasi. Negara hadir melalui formulir, sementara konsekuensi sosialnya ditanggung oleh warga yang bekerja secara sukarela.

Antara Pelayanan dan Cacian. Di mata sebagian warga, keberadaan RT hanya dibutuhkan saat mengurus administrasi: surat pengantar, rekomendasi, atau tanda tangan. Di luar itu, kegiatan lingkungan dianggap beban dan membuang waktu. Kerja bakti sepi, musyawarah warga jarang dihadiri.

Namun ketika ada keputusan RT yang tidak sesuai ekspektasi—terkait bantuan sosial, iuran, atau kebijakan lingkungan—kritik muncul dengan cepat, bahkan disertai provokasi. RT dituntut netral, adil, dan sigap, tetapi sering dibiarkan bekerja sendirian.

“Jabatan RT itu tempat cari pahala. Benar salah tetap dipaido. Bukan cuma tenaga, tapi juga pikiran dan mental,” ujar seorang Ketua RT di Semarang.

Keluhan lebih berat datang dari Ibu RT. “Kegiatan kelurahan banyak dan sering mendadak. Seolah-olah Ibu RT itu pengangguran. Yang bikin jengkel, data yang diminta kita sendiri tidak paham,” ungkap mantan Ibu RT.

Insentif yang Tak Seimbang dengan Beban. Dengan beban kerja seperti itu, insentif sekitar Rp300 ribu per bulan jelas tidak sebanding. Bukan hanya soal nominal, tetapi soal pengakuan negara terhadap kerja sosial yang menopang stabilitas masyarakat paling bawah.

RT dan RW bukan sekadar jabatan simbolik. Mereka adalah penyangga pertama ketika ada konflik warga, penyalur informasi kebijakan, sekaligus penentu kondusivitas lingkungan. Namun semua itu dijalankan dengan dukungan yang minim dan risiko sosial yang tinggi.

Saatnya Negara Berbenah. Pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi serius. Batas antara tugas mitra masyarakat dan kewajiban aparatur negara harus ditegaskan. Pendataan teknis seharusnya dilakukan oleh instansi terkait, dengan RT dan RW sebagai pendamping, bukan pelaksana utama. Jika kondisi ini dibiarkan, maka jabatan RT dan RW akan terus kehilangan peminat. Pengabdian akan berubah menjadi beban, dan partisipasi warga akan semakin melemah.

Seorang warga menyampaikan sindiran yang menggugah: “Jaga karcis saja ada bayarannya. Masa urusan negara dikerjakan dengan dalih amal?” Pertanyaan itu sederhana, tetapi menusuk. Sebab negara yang kuat seharusnya tidak berdiri di atas kerja sukarela yang dipaksakan, melainkan pada sistem yang adil, manusiawi, dan bertanggung jawab.

Penulis: ALI MAHFUDI, SE. Kepala Regional Semarang Raya – Media DJALAPAKSINEWS.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Contoh Menu Header Tetap